Kamis, 22 Agustus 2013

NASIB AKHIR MATAHARI: ANTARA AL-QUR’AN DAN SAINS

Proses fusi nuklir hidrogen untuk menghasilkan helium pada inti matahari dapat terus berlangsung selama beberapa miliar tahun. Akan tetapi, habisnya hidrogen pada inti matahari dan melimpahnya helium didalamnya bisa menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan dalam distribusi materi dimana helium empat kali lebih berat daripada hidrogen. Ini berarti ketidakseimbangan kepadatan materi bintang serta kehilangan keseimbnagan.
Kondisi ini menuntut adanya gerakan menyeluruh untuk mengembalikan keseimbangan tubuh materi. Hali ini bisa terjadi jika bagian luar materi matahari membesar dan menggelembung dengan sangat besar sehingga menyebabkan penyusutan bagian intinya. Dalam kondisi ini, warna matahari berubah menjadi merah. Dengan penggelembungan ini, matahari berubah menjadi sebuah raksasa besar yang menelan tiga planet pertama: Merkurius, Venus, dan Bumi. Karena itu, pada fase ini, matahari disebut Raksasa Merah.
Jika kekuatan internal pada inti matahari melemah, kerak luar yang menggelembung tidak mampu untuk menyandarkan dirinya kepada sesuatu hingga akhirnya tubuh matahari runtuh menimpa dirinya sendiri dalam sebuah proses disebut dengan at-takwir (digulung/aglomerasi). Hal ini disebabkan oleh gaya gravitasi antarbagian-bagiannya sehingga menyebabkan tubuh matahari menyusut secara tiba-tiba dan cepat. Akibatnya, materi-materi matahari pun menjadi hancur, partikel-partikelnya mengalami interpenetrasi (tumpang tindih) satu sama lain, atom-atomnya saling berdekatan sehingga nyaris terjalin satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, ketika jarak di antara atom-atom tersebut dekat, atom-atom tersebut menolak interpenetrasi ini karena diantara lapisan-lapisan elektron atom-atom tersebut terdapat daya tolak elektrik. Dengan demikian, daya tolak elektrik menjadi seimbang dengan daya tarik yang menyebabkan aglomerasi matahari. Ketika keseimbangan ini terjadi, matahar telah sampai pada fase akhirnya dan selanjutnya ia disebut dengan bintang katai putih karena yang tersisa dari sinarnya hanyalah sinar yang redup. Katai putih adalah benda sangat padat yang kepadatannya mencapai satu ton/1cm3. Dari penjelasan ini, kita dapat baru memahami makna firman Allah, “Apabila matahari digulung,” (QS.at-Takwir: 1) yakni matahari akan berakhir pada proses at-takwir (digulung/digumpalkan) hingga menjadi katai putih. Kata kuwwirat pada ayat ini tentu tidak muncul sembarangan, juga tidak menunjukkan lenyap dan padamnya cahaya matahari karena dalam kamus-kamus bahasa Aarab, kata kerja kawwara merupakan kata kerja yang menunjukkan arti “menggulung dan menggumpalkan” dan hali inilah yang terjadi secara persis pada proses keruntuhan gravitasi (gravitational collapse) karena materi bintang menggumpal dan tergulung satu sama lain.

Berdasarkan hali ini, bangsa Arab menggunakan kata at-takwir sebagai istilah bahasa Arab untuk menyebut proses keruntuhan tersebut karena yang terjadi persis seperti makna yang di tunjukkan oleh kata at-takwir. Bagaimana dengan katai putih itu sendiri? Subrahmanyan Chandrasekhar dan astronomi lain setelah menemukan bahwa bintang-bintang katai putih tidak berada pada satu kondisi. Jika massa kata putih lebih besar dari ukuran matahari kita, ia bisa berkembang, meledak, dan lenyap karena ia dalam keadaan tidak stabil. Adapun katai putih yang massanya sama dengan massa matahari kita, ia akan berada dalam kondisi dimana ia benar-benar stabil setelah cahayanya meredup. Ia mungkin tetap berada dalam kondisi tersebut selama ribuan, bahkan jutaan tahun lamanya. Pada bingkai ini, kita bisa memahami makna firman Allah SWT, “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya (menuju bentuk dan posisi tetapnya [bintang katai putih]). Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.(QS. Yasin: 38).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar